Entah kenapa, aku suka risih berucap 'traktir dong' atau 'oleh-olehnya ya' dari dulu.
Mungkin karena orangtuaku, juga kakak-kakakku tak ada yang memberi contoh itu.
Jika ada orang kelebihan rezeki yang biasa diucap ayahku, "Jangan lupa zakatnya dikeluarin".
Bila ada yang pamit bepergian ayahku selalu berucap, " Hati-hati dan jangan lupa salat "
Selalu kuingat pesan ayah, "Jangan suka merepotkan orang lain"
Bukankah itu bermakna luas..?
Yang kulihat sekarang, begitu ringan anak-anak muda bilang 'traktir dong, harganya cuma Rp 10.000 aja'..kalau dianggap murah kenapa ga beli sendiri ya?
Sejak di Jakarta, aku dan sahabat-sahabatku yang suka mencoba restaurant baru atau nonton bareng sudah membuat 'perjanjian tidak tertulis' bahwa kita biasakan membayar sendiri atas segala pengeluaran kami. Jadi tak ada yang saling memberatkan. Pelajaran ini kami ambil dari kebiasaan orang 'luar'.
Bahkan saat ada yang berulang tahun, kami hanya memberi hadiah, acara makan-makannya tetap bayar masing-masing.
Rasanya enak karena tak merepotkan dan tak merasa 'hutang budi'.
Kebiasaan minta traktir yang dianggap 'biasa' akan berdampak tidak biasa. Ippho Right bilang orang yang suka minta traktir, minta oleh-oleh itu mentalnya mental pengemis.
Apakah pengemis punya harga diri ?!
Anakku terbiasa bersama teman-temannya waktu di Jakarta juga demikian. Makan, nonton, transport bayar sendiri-sendiri. Dari awal sudah ku bilang padanya agar tidak punya kebiasaan 'minta traktir' pada siapapun.
Banyak yang lupa bahwa " Orang yang suka meminta-minta di akhirat nanti tak akan di toleh Allah "
Di toleh saja tidak...
bisa dibayangkan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar