Tentang Janji di Tengah Dunia yang Latah
Sebetulnya saya sedang tidak ingin menulis. Kemarin saja saya skip Day 5, karena memang tidak ada hal yang ingin saya sampaikan, terlebih karena badan sangat kelelahan akibat kurang tidur. Tapi janji adalah janji, sekalipun hanya janji kepada diri sendiri (duh, terlebih janji kepada diri sendiri!). Memenuhi janji kepada diri sendiri adalah latihan untuk belajar memenuhi janji kepada orang lain. Satu hari sudah berlubang, tidak apa. Masih ada hari-hari lain hingga tanggal 30 untuk menambalnya.
Sekarang saya sedang tidak ingin menulis. Tapi saya harus menulis. Semua karena sebuah janji. Tidak ada seorangpun yang menyuruh saya berjanji, kecuali sebuah bisikan yang saya percayai datangnya dari Telaga Kebaikan. (See how strong an inner whisper can do to you, Dear? So please don’t stop listening.)
Sekarang saya sedang tidak ingin menulis. Tapi saya harus menulis. Lalu apa? Membaca sajalah. Menulis dan membaca, dua sahabat karib yang saling mempengaruhi satu sama lain. Keduanya terikat bersamaan hingga akhir jaman. Seperti dua malaikat yang setia menjaga dan mengingatkan saya agar tetap waras sampai maut menjemput.
Dan terbukti, setelah membaca beberapa halaman dari sebuah buku, saya terdorong untuk segera membuka laptop kembali dan menulis. Atau setidaknya mengetikkan untuk Anda apa yang sudah saya baca dengan maksud untuk berbagi ilmu.
Menulis sama sekali tidak sama dengan mengetik, tapi saya suka keduanya. Yeah, saya sangat suka mengetik cepat dan buta, memindahkan materi dari buku ke bentuk file. Saya suka mendengar suara keyboard yang seperti berkejar-kejaran. Saya mengagumi jari-jari saya sendiri yang mampu menyentuh kecepatan 78 kata per menit. Saya suka ketika insting saya memberi tahu bahwa saya telah menekan huruf yang salah ketika mata melulu tertuju ke bahan ketikan sementara jari-jari seperti tidak ingin berhenti menari-nari. (Bagaimanakah insting bekerja? Menarik sekali profesi satu itu.) Saya sangat suka mengetik. Maka kalau ada yang butuh jasa pengetikan, silakan hubungi saya.
Nah kan, jadi ngelantur haha... Baiklah. Lanjuuuttt!
Saya hanya ingin berbagi salah satu bagian di buku yang tadi saya baca. Saya merasa pikiran saya sedang keruh, maka saya meneruskan membaca buku ini lagi, The Art of Thinking Clearly, karya penulis Jerman Rolf Dobelli yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Nicky Griffin. Saya punya buku ini sejak Maret 2016, tapi sengaja tidak saya habiskan sekaligus. Tiap bagian dari buku ini seperti permen kopiko, membuat saya terjaga kembali dari keseharian hidup yang kadang-kadang bikin ngantuk. Saya tentunya tidak ingin makan permen satu kilogram sekaligus.
Ada salah satu bagian dari buku ini yang ingin saya bagi di sini karena isinya sesuai dengan keprihatinan saya melihat masyarakat yang latah. Beberapa waktu lalu saya heran, begitu banyak orang di sekitar saya dari anak mahasiswa sampai anak SD rela tersedot kuota internetnya hanya untuk melihat video-video bis telolet. Untuk apa? Hanya untuk bisa tertawa-tawa masal. Masih banyak kasus latah sosial lainnya. Demam drama Korea, atau pertengkaran tak kunjung usai antara kubu Ahok dan kubu Rizieq misalnya. Suatu hari seorang teman balik heran kepada saya, bisa-bisanya saya hanya butuh kuota internet 3 giga untuk satu bulan, sementara dia bisa menghabiskan sejumlah itu hanya dalam seminggu. Kenapa? Karena saya menolak berbuat latah untuk sesuatu yang konyol. Itu saja.
Mengapa seseorang bisa latah sosial? Tulisan di bawah ini semoga bisa mencerahkan.
===
If Fifty Million People Say Something Foolish, It Is Still Foolish: Social Proof
You are on your way to a concert. At an intersection, you encounter a group of people, all staring at the sky. Without even thinking about it, you peer upward, too. Why? Social proof. In the middle of the concert, when the soloist is displaying absolute mastery, someone begins to clap and suddenly the whole room joins you. You do, too. Why? Social proof. After the concert you go to the coat check to pick up your coat. You watch how the people in front of you place a coin on a plate, even though, officially, the service is included in the ticket price. What do you do? You probably leave a tip as well.
Social proof, sometimes roughly termed the “herd instinct”, dictates that individuals feel they are behaving correctly when they act the same as other people. In other words, the more people who follow a certain idea, the better (truer) we deem the idea to be. And the more people who display a certain behavior, the more appropriate this behavior is judged by others. This is, of course, absurd.
...
...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar